Jakarta, 12 Desember 2022 – Independensi dan keterbukaan proses hukum keberatan pajak, tampaknya terus mendapat sorotan dan gugatan publik sekalipun telah berlangsung hampir empat dekade sejak diberlakukannya UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 6/1983 yang diubah dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan No. 7/2021 (UUKUP). Para akademisi dan praktisi pun mengambil bagian dalam diskusi bertemakan hal itu guna memberi penjelasan pada persoalan independensi dan keterbukaan, khususnya pada sisi hukum dan ekonomi.
Diskusi yang digagas P3HPI dengan menghadirkan Dr. Richard Burton sebagai pemandu acara FGD beserta para pakar dibidang pajak dan hukum seperti Prof. Dr. Anshari Ritonga (Ketua Dewan Pembina P3KPI); Prof. Dr. Gunadi (Ketua Dewan Pembina AKP2I); Dr. Zainal Muttaqin (FH Unpad); Dr. Abdul Haeba Ramli (Wadek FE Univ. Esa Unggul); Heriyono, S.E., Ak., M.A. (Ketua Bidang Peraturan PERKOPPI); Ass. Prof. Dr. Meco Sitardja (Univ Podomoro). Diskusi semakin menarik dengan kehadiran dua orang perwakilan dari Direktorat Keberatan dan Banding DJP, Bpk. Riyadi (Kepala Subdirektorat Pengurangan dan Keberatan) dan Bpk. Abdul Rajab (Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan II)
Pembukaan diskusi disampaikan Dr. John Eddy (Ketua Umum P3HPI), dengan menjelaskan dua hal, pertama, P3HPI sangat concern terhadap berbagai persoalan hukum yang muncul di masyarakat khususnya mengenai tema yang saat ini diangkat, selain karena banyak anggota yang terlibat langsung dalam proses hukum keberatan, juga kerap dialami kelembagaan keberatan tidak independent. Kedua, P3HPI akan terus memberikan masukan guna penyempurnaan regulasi menuju pada tujuan hukum yang adil.
Maksud dan tujuan diskusi juga disampaikan oleh Dr(c). Men Wih Widiatno (Ketua Dewan Sertifikasi P3HPI) bahwa keberatan kerap mendapat sorotan karena proses dan hasil putusan sering kali jauh dari harapan wajib pajak. Ujung-ujungnya, pembayar pajak dipaksa untuk menempuh langkah hukum berikutnya yakni banding namun menurut statistik penyelesaian sengketa di pengadilan pajak, lebih dari 50% permohonan banding wajib pajak dikabulkan oleh majelis hakim. Karenanya, Indenpedensi dan keterbukaan dalam keberatan ini menjadi menarik untuk didiskusikan.
Publik kerap menilai munculnya lembaga keberatan dalam Pasal 25 UUKUP merupakan cerminan peran ‘yudikatif’ yang dilakukan Pemerintah cq. Ditjen Pajak hingga menuai kritik akan keberadaannya yang tidak independen dalam mekanisme penegakan hukumnya. Bahkan, literatur pajak seakan memberi pembenaran menyatakan lembaga keberatan merupakan peradilan doleansi (semu) karena telah ditetapkan dalam UU.
Padahal dari sisi filosofis keberadaannya sulit diterima akal sehat jika ditilik dari sisi keperdataan. Karena bagaimana mungkin dua pihak sedang bersengketa, putusannya dilakukan salah satu pihak dari dua pihak yang bersengketa. Penilaiannya menjadi tidak fair (tidak adil), dan tidak tepat. Peran pemerintah cq. Ditjen Pajak seakan double, sebagai eksekutif juga yudikatif (wasit).
Oleh karenanya keadilan pajak tidak semata dimaknai sebagai keadilan legalis (iustitia legalis), dengan mengatakan ‘sudah diatur begitu dalam undang-undangnya’, tetapi perlu berfikir pada tataran keadilan hukum (legal justice), dengan tolok ukur penyelesaian sengketa oleh pihak independent. Itu sebabnya, Prof. Sindian (1965) sudah mengingatkan pembuat UU supaya berfikir filosofis karena “pungutan pajak adalah kekuasaan yang demikian besar yang berada ditangan negara, bahkan ‘hukumnya’ dapat diciptakan oleh negara sendiri. Karenanya harus disertai dengan pengabdian kepada rakyat, kepada kesejahteraan umum, sehingga menjelma menjadi keadilan.
Dalam diskusi, Prof. Dr. Gunadi menekankan pada persoalan transformasi fungsi keberatan dari upaya administrasi ke quasi judicial. Menurutnya, telaah keberatan harus dapat meluruskan aplikasi hukum pajak sesuai bunyinya. Jika jumlah pajak terutang dalam laporan audit dan SKPKB sudah sebagaimana hukumnya, tentu tidak ada keberatan.
Pada sisi lain, Prof. Dr. Anshari Ritonga menilai independensi dan keterbukaan keberatan pajak dengan melihat pada 3 aspek hukum yang dinyatakan Lawrance M Friedman yakni substansi hukum (legal substance) pada persoalan pasal yang menjamin independensi, institusi hukum (legal structure) pada persoalan aparatur yang professional, dan budaya hukum (legal culture) pada sikap dan kebiasann subjek/pelaku atas aturan yang ada. Ketiganya saling terkait dalam melihat independensi dan keterbukaan dalam penegakan hukum melalui keberatan.
Dr. Zainal Muttaqin, Dr. Abdul Haeba Ramli, Heriyono, S.E., Ak., M.A., dan Ass. Prof. Dr. Meco Sitardja menggaris bawahi untuk memberikan keadilan bagi wajib pajak maka otoritas perpajakan seharusnya lebih independensi dan keterbukaan dalam hal memeriksa dan memutus sengketa keberatan pajak.
Ragam penilaian hukum terhadap gugatan independensi dan keterbukaan keberatan pajak, patut menjadi perenungan ulang untuk dikaji bersama guna menemukan format lebih fair (adil) dalam mekanisme penegakan hukumnya. Ketika kesepakatan terbaik membayar pajak kepada negara sudah terbebas dari masalah hukumnya (proses keberatan maupun banding), maka tujuan negara kesejahteraan (welfare state) yang dicita-citakan menjadi tujuan mulia yang kita kehendaki tidak bersama.
Dalam penutupan acara diskusi, Ass. Prof. Dr. Gilbert Rely (Sekum P3HPI), menekankan dua hal, Pertama, persoalan pajak adalah persoalan kita semua yang tidak pernah selesai didiskusikan karena sedari awal pajak tidak ada satu orangpun rela membayar pajak, maka muncul unsur pemaksa dalam UU. Kedua, persoalan independensi keberatan pajak, harus terus dicari format terbaiknya guna memenuhi tujuan keadilan dan kepastian yang menjadi harapkan bersama.
SIARAN PERS
PERKUMPULAN PENGACARA & PRAKTISI
HUKUM PAJAK INDONESIA (P3HPI)
Nomor: SP-001/P3HPI/XII/2022
Tanggal: 12 Desember 2022
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
NARAHUBUNG
Dr. Jhon Eddy, SE., SH., MH.
Ketua Umum P3HPI
Telp:081380099739
Tidak ada komentar:
Posting Komentar